Inibaru.id – Pekalongan, Solo, dan Lasem (Rembang) telah lama dikenal sebagai sentra batik Nusantara, jauh sebelum Indonesia berdiri. Akulturasi budaya Jawa, Tiongkok, dan Eropa, di negeri ini pun menjadi corak tersendiri pada batik Jawa. Semuanya dirangkum apik dalam mahakarya Batik Tiga Negeri.
Yap, Batik Tiga Negeri, pernahkah kamu mendengarnya? Pada 1910, Ny Tjoa Giok Tjiam memprodusi batik ini dengan memadukan budaya dari beberapa daerah. Yang paling menarik, demi memperoleh warna terbaik, proses pewarnaan batik dilakukan di tiga kota berbeda.
Warna merah dicelup di Lasem, biru di Pekalongan atau Kudus, sedangkan cokelat di Solo atau Yogyakarta. Bagi Nyonya Tjoa, pewarnaan kain memang harus dilakukan di daerah yang semestinya, agar mendapatkan warna yang khas dan sesuai.
Tiga warna di tiga tempat itu bukannya tanpa pesan. Merah getih pitik (darah ayam) adalah cerminan tradisi Tionghoa di Lasem, biru indigo merupakan ciri khas batik buket (Belanda) asal Pekalongan, sedangkan cokelat soga menjadi unsur utama batik Jawa di Solo dan Yogyakarta.
Akulturasi Tiga Negeri
Berdiri pada masa-masa sulit zaman Kolonial Belanda di Jawa, Batik Tiga Negeri terus bertahan secara turun-temurun. Unsur budaya dari tiga negara, yakni Tiongkok, Belanda, dan Indonesia (Jawa), masih menjadi ciri khasnya hingga produksi batik ini resmi berakhir pada 2014 lalu.
Selama puluhan tahun Keluarga Tjoa terus mengembangkan motif-motif dari tiga negara; burung hong (Tiongkok/Lasem), bunga mawar, tulip, bunga peoni, dan kupu-kupu (Belanda/Pekalongan), menyatu dengan motif parang dari Jawa.
Batik Tiga Negeri dulunya diproduksi di daerah pesisir Jawa, yakni Lasem (Rembang), Kudus, Pekalongan, Batang, dan Cirebon. Selain itu, ada juga yang diproduksi di Solo. Sayang, pada 2014 lalu, lantaran keterbatasan tenaga kerja dan kesulitan bahan produksi, Batik Tiga Negeri resmi gulung tikar.
Duh, syedih! Kendati demikian, batik ini masih bisa kamu temukan di pedagang-pedagang lawas dan di beberapa toko kain batik, kok, Millens! (IB07/E03)